Konstitusionalisme
Konstitusionalisme
adalah suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan
teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon
perkembangan peran relative kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme sebenarnya merupakan antitesis dari paham sentralisasi yang
dulu marak berkembang di eropa pada abad pertenahan. Raja atau penguasa sebagai
inti kekuasaan memerintah dengan tangan besi, sewenang-wenang. Perkembangan
sentralisme ini mengambil bentuknya dalam doktrin ‘king-in-parliament’ yang
pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas. Perkembangan ini
pada akhirnya menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di mata rakyat yang
kemudian menginginkan reformasi konsep kekuasaan penguasa. Dari sinilah
kemudian lahir istilah pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan istilah konstitusionalisme.
Sehingga tidak heran jika kemudian konstitusionalisme dianggap sebagai sebuah
keniscayaan di zaman modern seperti sekarang.
Basis
pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)
di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau ‘general agreement’.
Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula
legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang
saudara dapat terjadi.
Konsensus
yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern
pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita
bersama (the general goals of society or general acceptance of the same
philosophy of government). Ini berkenaan dengan cita-cita bersama yang sangat
menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu Negara. Karena
cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin
mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesame warga masyarakat
yang pada kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan.
2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
Bahwa basisi pemerintahan didasarkan atas aturan hokum dan konstitusi.
Kesepakatan ke dua ini juga sangat prinsipal karena dalam setiap Negara harus
ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks
penyelenggaraan Negara haruslah di dasarkan atas ‘ruke of the game’ yang
ditentukan bersama.
3. Kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures). Kesepakatan ini berkenaan dengan:
a.
Bangunan
organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya.
b.
Hubungan-hubungan
antar organ Negara itu dengan sama lain
c.
Hubungan
antar organ-organ itu dengan warga Negara
Dengan adanya
kesepakatan itu, maka isi konstitusu dapat dirumuskan dengan mudah karena
benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraaan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam
kerangka kehidupan Negara berkonstitusi.
Keseluruhan
kesepakatan tersebut di atas, pada intinya
menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme
mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama,
hubungan antara pemerintah dan warga Negara; dan Kedua: hubungan antara lembaga
pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu,
biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tigal hal yang
penting, yaitu:
a.
Menentukan
pembatasan kekuasaan organ-organ Negara
b.
Mengatur
hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang satu dengan yang lain
c.
Mengatur
hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara dengan warga Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar