AWAL ABAD 20, ketika Paris yang juga ibukota Prancis sedang
mencari yang penting adalah bagaimana sebuah kota dengan sejarah panjang dan
kaya dengan peninggalan bersejarahnya dapat terintegrasi dengan dinamika
perkotaan dan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru.
Gagasan Plan Voisin datang dari arsitek kelahiran Swiss,
Charles-Edouard Jeanneret kemudian bernama Le Corbusier : menghancurkan
bagian-bagian historis kota Paris yang terlalu padat dan kumuh, sehingga di
pusat kota, lahan akan tersedia bagi menara-menara -yang dipadu dengan ruang
terbuka hijau- sebagai habitat dari tiga juta penduduk Paris.
Paris ternyata memilih untuk tumbuh dengan melestarikan bentuk
kota tuanya -ketimbang mengikuti ide Le Corbusier- sebagai bagian dari
pembentukan identitas perkotaan. Terbukti, salah satu kawasan yang historis
yang sebenarnya kumuh kemudian sungguh dilestarikan : Le Marais.
Terletak di sisi kanan Sungai Seine, dia kawasan historis
Paris yang khas karena pernah menjadi pusat pertumbuhan dan aktivitas di Paris.
Selain itu, dia juga memiliki arti penting dalam proses transformasi urban
Paris sebagai kawasan tempat dilakukannya eksperimen-eksperimen renovasi perkotaan.
SEJARAH le Marais dimulai pada abad 11, komunitas Order of
the Temple membangun permukiman mereka dengan terlebih dulu membersihkan daerah
rawa-rawa yang terjadi akibat luapan Sungai Seine. Daerah ini tepatnya terletak
di utara dinding perlindungan yang dibangun oleh Raja Philippe Auguste. Tiga
abad kemudian (1360), Charles V, raja Prancis membangun kediamannya, Hôtel St
Pôl di le Marais dengan terlebih dulu memperluas dinding perlindungan Paris
untuk memasukkan kawasan tersebut yang populasinya mulai berkembang.
Puncak pembangunan terjadi pada masa pemerintahan Henry IV,
raja terbesar Prancis. Henry IV memperluas dinding Paris serta memelopori model
arsitektur urban modern dengan membuat taman Place des Vosges (1605-1612)
berbentuk segi empat (140mx140m) yang dikelilingi deretan bangunan-bangunan
hampir simetris terbuat dari bata dengan aksen garis-garis vertikal dari batu
serta arkad yang melengkung. Taman dan bangunan yang melingkupinya kemudian
menjadi model di kota-kota Eropa lainnya. Lansekap urban yang indah membuat
kaum bangsawan dan borjuis tertarik membangun rumah mereka yang selanjutnya
membuat le Marais semakin berkembang. Pertumbuhannya terhenti, ketika pada masa
Louis XIV para bangsawan meninggalkan Paris berpindah mendekati Istana
Versailles dan membuatnya berangsur-angsur terpuruk.
RESTRUKTURISASI urban besar-besaran oleh Georges Eugène
Haussmann untuk membawa Paris menjadi modern mengintegrasikan ide komposisi
kota yang baru ke struktur lama Paris berdasarkan pusaka urbannya. Proyek ini
merupakan wujud cita-cita Napoleon III yang ingin melihat Paris, menjadi
ibukota negara yang indah dan sederajat dengan ibukota negara Eropa lainnya,
baik sosial dan ekonomi. Sayang le Marais batal dikenai proyek ini sehingga
belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam jaringan komunikasi kota Paris.
Kawasan dengan rentang sejarah 8 abad makin terbengkalai dan
menjadi daerah industri kecil dan produksi kerajinan yang kumuh. Antara
1895-1905, bagian layanan kesehatan kota Paris melakukan pemeriksaan dengan
mengunjungi setiap bangunan-bangunan permukiman. Tahun 1920, 17 îlot (kumpulan
blok-blok bangunan yang dibatasi jalan) dinyatakan kumuh dan diusulkan untuk
direnovasi. Kebanyakan terletak di pinggiran Paris yang luput dari renovasi
Haussmann. Kekumuhan terkait dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat estetis
dan kesehatan seperti jarak antar bangunan hanya 12 m dibanding tinggi bangunan
yang bisa mencapai 5 lantai sehingga tidak memungkinkan sinar matahari dan
udara masuk ke lantai dasar. Kondisi demikian dinyatakan mudah menimbulkan
penyakit TBC. Luas total 17 ïlot tersebut 250 ha dengan populasi waktu itu 186
594 orang.
Ilot n° 16 berada, di kawasan le Marais, sebelah timur Hôtel
de Ville (balai kota) yang berarti meskipun kumuh namun memiliki latar historis
yang dalam. Problem tersebut dilihat sebagai kesempatan bereksperimen
mengembangkan teori disain urban. Muncul pertentangan antara yang ingin
menggusur saja îlot-îlot tersebut seperti digagas Le Corbusier atau
mempertahankannya seperti para arsitek yang ingin melindungi bagian bersejarah
serta meningkatkan nilainya, seperti Robert Azuelle dan Albert Lamparde (1940).
Pihak yang terakhir ini memandang lebih baik membersihkan bangunan-bangunan
baru di bagian dalam îlot yang disebut Azuelle parasit daripada menghancurkan
sama sekali seluruh îlot.
Membersihkan bagian dalam berarti memberi jarak lebih besar
antar bangunan untuk membiarkan udara dan matahari masuk ke dalam masing-masing
ruangan. Metode tersebut digagas oleh arsitek Italia, Gustavo Giovannoni (1931)
untuk tetap memelihara garis yang dihasilkan deretan muka bangunan dan
mempertahankan wajah kota lama secara keseluruhan.
PROBLEM berikutnya muncul pada tahun 1960an, alih-alih isu
îlot kumuh dan rencana pembuatan bangunan perkantoran, banyak bangunan tua di
le Marais dihancurkan tanpa melihat sejarahnya. Setelah menghentikan rencana
penghancuran Hôtel de Vigny, Andre Malraux, yang ketika itu mentri kebudayaan,
akhirnya membuat undang-undang pembentukan kawasan yang dilindungi dengan
syarat kawasan tersebut menunjukkan karakter bersejarah, nilai estetis tinggi
dan kultural yang pantas untuk dilestarikan, direstorasi dan ditingkatkan
nilainya baik keseluruhan ataupun sebagian dari kesatuan bangunan yang ada.
Ditetapkan 4 Agustus 1962, Aturan Malraux ini mengacu pada seberapa penting
kawasan tersebut bagi Negara, bukan lokal semata.
Aturan yang tadinya menyikapi aksi penolakan masyarakat
setempat (kemudian melahirkan Association pour la sauvegarde et la mise en
valeur du Paris Historique), terutama atas rencana penghancuran bangunan tua di
Paris, selanjutnya diterapkan luas di seluruh Prancis dan diaplikasikan dengan
pengatributan ‘rencana pelestarian dan peningkatan nilai’, PSMV (le plan de
sauvegardé et de Mis en Valeur). Andre Malraux meyakini, bahwa suatu bangunan
pusaka tidak hanya bernilai karena keberadaannya- sejarah ataupun estetis-,
namun juga dimaknai dari lokasinya. Dan Paris ingin melindungi keduanya untuk
menjaga keutuhan nilainya.
Atribut PSVM pada suatu kawasan memberi asosiasi arsitek
Prancis, ABF (Les Architectes des Bâtiments Français) dan Kementerian
Kebudayaan hak untuk mengabulkan atau menolak pemberian ijin pembangunan dan
pembongkaran guna membuat sesedikit mungkin perubahan terutama penggunaan
persil di kawasan yang dikonservasi. Dengan agen perbaikan permukiman ANAH
(l’Agence Nationale de l’Amélioration de l’Habitat), ABF bekerja sama untuk
mendapat subsidi bagi proyek renovasi bangunan2 tua yang memiliki nilai sejarah
tinggi. Di seluruh Prancis ada 98 (data 2001) dengan PSMV le Marais sebagai
satu dari dua yang ada di Paris. Luasnya 126 hektar, terletak di dua distrik 3
dan 4 Paris, merupakan kawasan konservasi yang terluas di Prancis.
Dengan Aturan Marlaux, perubahan fisik menjadi terbatas
namun tetap memperhatikan aspek fungsi, sosial dan ekonomi kawasan. Fungsi tiap
bangunan baik fungsi residensial serta komersial dipertahankan. Pemilik
bangunan tidak bisa sembarang bahkan merubah fasad bangunan, juga dekorasi dan
kondisi interiornya. Untuk meningkatkan nilai kawasan, le Marais kemudian
didorong menjadi sebuah area unik museum, galeri seni dan situs bersejarah yang
dilindungi, seperti Museum Picasso, Museum Carnavalet, Places des Vosges atau
rumah penulis terkenal Prancis Victor Hugo.
Ketika kegiatan turisme berkembang, butik lokal ataupun yang
memegang hak merk-merk mahal, kafé serta restoran turut tumbuh dinamis.
Kecenderungan kemudian, meskipun bukan lagi tempat tinggal para bangsawan dan
borjuis, suasana yang hidup membuat le Marais kawasan yang makin diminati untuk
ditinggali, walaupun berarti nilai tanah dan harga sewa menjadi mahal. Demikian
Paris dapat mempertahankan bangunan-bangunan juga lingkungan tuanya, membangun identitasnya
sekaligus menggerakkan aktivitas ekonomi distrik kawasan tersebut.
PENGALAMAN le Marais menunjukkan bahwa usaha konservasi
bangunan-bangunan tua selain tuntutan alasan emosional juga terintegrasi secara
rasional dengan usaha transformasi kota. Faktor penting mengapa memilih
melindungi bangunan-bangunan tua serta lingkungannya muncul dalam visi
melakukan transformasi Paris dengan memberi ciri khusus bagi kota secara
keseluruhan, kota bersejarah. Selain adanya peran pemerintah dan masyarakat
setempat, strategi konservasi juga mengacu pada aktivitas ekonomi dan kondisi
sosial kawasan yang efeknya merubah dari kawasan kumuh menjadi berkelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar